Sabtu, 13 Agustus 2011

Chapter 3 : Ujian Kejujuran Nasional


Pagi itu matahari belum sampai sepenggalahan naiknya, adzan subuh belum lama meninggalkan sejumlah pelajar SMA yang saya yakin berlama-lama memanjatkan doa kepada penciptanya. Tapi ternyata tak hanya Tuhan yang setia terjaga semalaman itu, sejumlah orang di sebuah tempat antah-berantah di kota ini pun dengan setia menemani Tuhan membuka matanya. Sayangnya iman mereka malam itu sedang jauh terlelap. Yang ada hanya tubuh-tubuh kosong dengan otak yang terus bekerja menyelesaikan empat puluh-kali-lima  soal yang sudah ada di genggaman tangan mereka. Sekali lagi, entah kemana jiwa mereka pergi saat itu. Setelah hasil pekerjaan otak tanpa jiwa itu selesai, tinggal tekan tombol “send” pada telepon genggam mereka, dan whooala!! G-Team telah menyelesaikan tugasnya hari itu. Masih ada tiga hari menunggu. Juga bayaran besar atas ketidakjujuran.
Mungkin itu sedikit potret sisi lain kehidupan akhir SMA. Bukan hanya isapan jempol atau kabar burung belaka, tapi ini adalah fakta, yang saya yakini terjadi di hampir semua wilayah di Indonesia. Tidak perlu susah-susah menamatkan buku-buku soal tebal yang dilihat saja sudah memuakkan itu. Tidak perlu juga ikut bimbingan belajar di sana-sini, kalaupun ikut saya yakin hanya sebuah formalitas saja sebagai murid tingkat akhir Sekolah Menengah. Yang perlu dilakukan hanyalah bangun sedikit lebih pagi, menyiapkan satu-dua lembar catatan kaki ( tentunya harus yang dapat dengan mudah disimpan ). Lalu tinggal melangkah dengan rasa was-was ke Sekolah. Was-was bukan karena pikiran “Bisa ngerjain ga ya ntar ?” melainkan “Cocok ga ya sama jawabannya ntar ?”. Dan dengan begitulah para pemuda Indonesia dibesarkan. Miris.
Seandainya saja Nazaruddin tidak mencontek pada saat UAS ketika masih SMP. Seandainya saja Melinda Dee tidak ngrepek ketika masih duduk di bangku SMP. Seandainya saja para petinggi negara ini, para pemimpin, para pemegang amanah, membiasakan untuk hidup jujur sejak kecil. Bukan hanya kejujuran semu pada pelajaran kewarganegaraan itu, tapi kejujuran yang sebenarnya, yang dipraktekkan langsung sejak mereka masih mengenyam bangku pendidikan..
Pasti korupsi tidak akan se-merajalela ini, se-mengakar ini. Pasti kejujuran bukanlah fatamorgana.
Tapi kenapa para pemuda ini belum juga menyadari masa depannya, masa depan negaranya. Tidak cukupkah generasi pemimpin saat ini saja yang seburuk ini ? Apakah generasi kami nanti masih harus mewarisinya? Akan jadi apa negara ini nantinya jika semua keburukan ini terus menancapkan akarnya ?
Saya tidak menyalahkan kawan-kawan seperjuangan saya ini. Kami hanyalah anak-anak muda yang dibesarkan oleh sebuah doktrin pendidikan yang benar-benar salah. Sejak dulu kami hanya dituntut untuk mendapatkan nilai yang baik dalam setiap pelajaran di sekolah. Orang tua kami pun turut menjadi korban. Sejak dulu setiap hasil ujian akhir dibagikan, yang mereka tanyakan pasti cuma satu, “Dapet nilai berapa nak ?”, tidak adakah orang tua yang bertanya “Apakah kamu mengerjakan ulangan ini dengan jerih payahmu sendiri nak ?”.
Nilai. Cuma kata itu yang dipedulikan oleh masyarakat negeri ini. Dampaknya selalu sama pada setiap generasi, menghalalkan segala cara demi mendapatkan nilai yang bagus. Memang tidak ada salahnya mematok standar bagi sebuah kelulusan, namun yang perlu dipertanyakan, apakah masyarakat negeri ini telah cukup dewasa untuk mengambil jalan demi mencapai standar tersebut. Yang ada malah masyarakat menjadi kaum materialistis. Kaum pencari nilai.
Alhamdulillah saya dan semua teman-teman seperjuangan saya di SMADA bisa lulus Ujian Nasional tahun ini. Sebagai anak muda yang juga masih labil, saya tidak terlalu ambil pusing apakah teman-teman saya lulus sebagai kaum nasionalis pembela kemerdekaan atas egonya, atau lulus sebagai kaum materialistis pembawa akar-akar keburukan generasi sebelumnya. Itu semua jalan yang telah mereka ambil. Jalan yang masih bisa berubah nantinya. Masih banyak persimpangan jalan yang akan kami hadapi di masa mendatang. Untuk saat ini, saya masih berada di persimpangan kedua jalan. Sebagian diri saya telah berusaha jujur dalam mengerjakan setiap ujian di sekolah selama dua tahun belakangan ini, termasuk Ujian Nasional yang saya bisa jamin seratus persen kerja keras saya sendiri. Tapi saya juga tidak akan munafik, masih ada sebagian diri saya yang tidak bisa berlaku jujur terhadap hati, masih banyak kebohongan yang saya lakukan kepada Tuhan.
Semoga Tuhan menganugerahkan kejujuran pada setiap dari kita. Karena negeri ini sedang krisis orang-orang yang jujur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar