Selasa, 08 Juli 2014

Merantau

Mungkin saya adalah orang yang paling telat merantau. Teman-teman SMA atau SMP saya udah pada merantau ke Jogja, Bandung, Jakarta untuk melanjutkan kuliah. Teman-teman kampus saya sebagian besar juga perantauan baik dari berbagai kabupaten di Jawa Timur maupun di luar itu. Tapi saya sampai umur yang hampir menginjak 21 tahun ini belum pernah tinggal selain dengan keluarga, sampai tiba saat ini.

Kerja Praktek di jakarta mengharuskan saya untuk memilih dua opsi tempat tinggal : ngikut di rumah saudaranya temen, atau ngekos sendirian. Dan pilihan pun jatuh pada opsi kedua. Awalnya sih ketika masih di Surabaya sering bertekad untuk bisa hidup sendiri. Karena cepat atau lambat saya juga pasti harus meninggalkan rumah orang tua saya. Paling cepat tahun depan, paling lambat dua tahun lagi. Saya harus pergi..entah itu untuk melanjutkan studi atau mencari pekerjaan di kota atau pulau lain.

Tapi ternyata merantau itu tidak semudah yang saya bayangkan. Beberapa bulan lalu ketika adik saya harus tinggal 2 minggu jauh dari rumah di benua seberang dia sering mengeluh homesick, saya yang menguatkan dengan sok-sokan bilang "halah 2 minggu ae lho,ojo cemen ta". Dan ternyata saya kena batunya. Baru beberapa hari tinggal di perantauan dan saya sudah homesick tingkat angkut. Saya yang biasanya nyantai, jarang melow kecuali nonton drama asia, berubah seketika menjadi mellow-dramatic banget di tempat perantuan ini.

Penyebabnya sih terutama karena kurangnya rasa perhatian dari lingkungan sekitar, dan tidak adanya komunikasi dengan  pihak luar. Di kosan yang saya tinggali untuk 2 bulan kedepan ini semua penghuni kos sibuk dengan wilayah privasinya masing-masing. Tidak adanya komunikasi timbal-balik dengan lingkungan sekitar, ditambah dengan tidak adanya faktor teknologi penunjang komunikasi seperti televisi dan internet laptop praktis membuat hidup saya terasa seperti terkungkung dalam ruangan 3,5 x 3.5 meter yang sejuk tapi terisi sesak oleh aroma rindu dan kesepian.

Waktu siang hari, ketika masih berada di ruangan kantor terasa lebih mengasikkan. Ada tugas yang harus dikerjakan, ada teman yang menenami. dan ada senior yang membimbing. Namun ketika malam datang di kota ini, semua hiruk pikuk kota metropolitan berubah menjadi susasana kesepian yang menajam. Kerjaan saya kalau malam hari hanya ngenet lewat HP, baca komik, chatting, telpon sesekali. Sudah. Gitu aja.

Hubungan saya yang menginjak 4,5 tahun juga harus berubah pola. 4,5 tahun kami lalui tanpa pernah berjauhan, paling hanya ke luar kota beberapa hari. Namun ketika hitungan bulan harus memisahkan jarak di depan mata,maka cara komunikasi pun harus berubah. Yang tadinya jarang telpon kalo di Surabaya,disini hampir tiap hari.

Yang paling berat dari merantau ini adalah kesendiriannya. Ketika masih memiliki teman satu kos atau satu kontrakan, rasa rindu kepada keluarga dapat dibagi sama berat. Tapi ketika harus hidup sendiri tanpa siapapun, berbagai masalah harus dihadapi sendirian. Saat itulah baru terasa betapa kerasnya hidup ini. Terlebih bagi yang sepanjang umurnya belum pernah melakukan apa-apanya sendirian. Air mata yang jarang jatuh di rumah, disini terasa ringannya. Rindu yang kurang terasa ketika bersama, disini tertahan menyakitkan.

Saya mungkin masih belum lolos tahapan ini. Tapi cepat atau lambat saya harus berdamai dengan semua ini. Karena hidup nantinya masih akan lebih berat ketimbang saat ini.

...

Selain kebutuhan akan sandang, pangan, papan, dan colokan. Manusia membutuhkan satu lagi faktor penting dalam hidup yang disebut "Teman".


~Ditulis di kosan teman dalam rangka mencari teman~