Sabtu, 13 Agustus 2011

Chapter 4 : High School Really Ends


Tanggal 17 Mei 2011, bertepatan dengan hari raya nyepi dan hanya selang sehari sejak pengumuman kelulusan SMA se-Indonesia, kami semua murid kelas 12 SMADA akan melewati hari yang cukup panjang. Karena bukan hanya ada satu acara yang harus kami hadiri hari itu, tapi dua. Wisuda siswa angkatan 2011 dan juga Prom Night.
Pagi itu saya dan kedua orang tua saya bangun lebih awal, seperti layaknya Hari Raya Idul Fitri atau Idul Adha, pagi-pagi sekali ayah dan ibu saya telah bersiap-siap mengenakan pakaian yang nampak pantas untuk acara hari ini. Saya sendiri untuk pertama kalinya dalam hidup saya mengenakan sebuah ‘tuxedo’. Sebuah jas, kemeja lengakap dengan dasinya, juga celana kain yang kesemuanya itu saya dapat dari lemari penyimpanan pakaian masa lalu ayah saya.
Prosesi wisuda anak SMA terlihat sangat berbeda dengan yang biasa dikerjakan oleh para lulusan Perguruan Tinggi, hampir tidak ada ke-khidmatan yang terlihat. Kami semua sibuk dengan celotehan kami dengan teman-teman sekelas. Tidak peduli dengan apa yang disampaikan oleh para pembaca sambutan di atas panggung. Bukannya kami ini anak-anak bebal yang tidak bisa diberi tahu. Kami hanya merasa ingin menghabiskan saat-saat terakhir menyandang status ‘Pelajar SMA’ ini dengan orang-orang terdekat kami, teman-teman sekelas kami ini.
Begitu Kepala Sekolah kami menyematkan piagam berlogokan SMAN 2 Surabaya, kemudian menjabat satu-persatu tangan kami, kami telah dinyatakan lulus. Dengan semudah itu kami dikeluarkan dari SMADA tercinta. Ingatkah kita bagaimana susahnya masuk ke sekolah ini, bersaing dengan ribuan pendaftar dari seluruh Kota Surabaya dan sekitarnya. Bagi beberapa orang diantara kami, termasuk saya, masuk ke sekolah ini bukanlah pencapaian tertinggi dari apa yang kami inginkan. Tapi tak ingatkah kita bagaimana waktu telah mengubah semua rasa kekecewaan itu menjadi rasa sayang. Ingatkah kita bagaimana pagi itu, tiga tahun yang lalu, sekumpulan kakak kelas meneriakkan dengan lantangnya VIVA SMADA!! Semula memang terasa aneh jargon yang satu ini. Tapi tak ingatkah kita bagaimana waktu lagi-lagi mengubah semua rasa itu menjadi suatu kebanggaan ketika kita meneriakkannya. Ketika VIVA SMADA!! mengalun kencang di DBL Arena, maupun tempat-tempat lain yang kita kunjungi bersama. Ingatkah kita bertemu teman-teman baru, mempelajari dan melakukan hal-hal baru, menghiasi indah masa-masa muda kita. Tidak ada yang baik dan yang buruk di masa SMA. Kita belajar di kelas, tapi kita juga tidur di dalamnya. Kita mencari teman di sekolah, tapi kitapun mendapat musuh di sisi lainnya. Kita membangun cinta pada masa itu, tapi kita pula yang menghancurkanny. Kita belajar bersama, tapi kita juga bolos bersama. Kita bermain, belajar, bertengkar, baikan, bermain lagi, mempelajari hidup dari berbagai sisi, mencari tahu bersama siapa sebenarnya diri kita. Semua hitam dan putih itu bercampur, menjadi abu-abu. Menjadi warna kebanggan masa-masa kejayaan ini, Putih-Abuabu.
Malam itu kami kembali berkumpul, bukan sebagai siswa SMADA lagi, melainkan telah menjadi IKASMADA. Mungkin untuk yang terakhir kalinya berkumpul ber-300 seperti itu. Mengumpulkan sebanyak mungkin kenangan dengan teman-teman terdekat. Menciptakan sebanyak mungkin jepretan foto-foto yang nantinya akan menjadi satu-satunya kenangan kebersamaan masa SMA.
Sekali lagi, entah bagaimana waktu dapat menyeret kita secara sangat cepat. Melewati tiga tahun masa Putih-Abuabu dengan segala kenangan yang ditinggalkannya.
Mungkin suatu saat kita akan bertemu kembali, berkumpul kembali seperti saat itu. Tapi satu hal yang saya takutkan. Saya takut kalian yang nanti saya temui bukanlah kalian yang dulu saya kenal.
Dengan berat hati saya harus mengucapkannya. High school really ends,,ya,it’s over.

Chapter 3 : Ujian Kejujuran Nasional


Pagi itu matahari belum sampai sepenggalahan naiknya, adzan subuh belum lama meninggalkan sejumlah pelajar SMA yang saya yakin berlama-lama memanjatkan doa kepada penciptanya. Tapi ternyata tak hanya Tuhan yang setia terjaga semalaman itu, sejumlah orang di sebuah tempat antah-berantah di kota ini pun dengan setia menemani Tuhan membuka matanya. Sayangnya iman mereka malam itu sedang jauh terlelap. Yang ada hanya tubuh-tubuh kosong dengan otak yang terus bekerja menyelesaikan empat puluh-kali-lima  soal yang sudah ada di genggaman tangan mereka. Sekali lagi, entah kemana jiwa mereka pergi saat itu. Setelah hasil pekerjaan otak tanpa jiwa itu selesai, tinggal tekan tombol “send” pada telepon genggam mereka, dan whooala!! G-Team telah menyelesaikan tugasnya hari itu. Masih ada tiga hari menunggu. Juga bayaran besar atas ketidakjujuran.
Mungkin itu sedikit potret sisi lain kehidupan akhir SMA. Bukan hanya isapan jempol atau kabar burung belaka, tapi ini adalah fakta, yang saya yakini terjadi di hampir semua wilayah di Indonesia. Tidak perlu susah-susah menamatkan buku-buku soal tebal yang dilihat saja sudah memuakkan itu. Tidak perlu juga ikut bimbingan belajar di sana-sini, kalaupun ikut saya yakin hanya sebuah formalitas saja sebagai murid tingkat akhir Sekolah Menengah. Yang perlu dilakukan hanyalah bangun sedikit lebih pagi, menyiapkan satu-dua lembar catatan kaki ( tentunya harus yang dapat dengan mudah disimpan ). Lalu tinggal melangkah dengan rasa was-was ke Sekolah. Was-was bukan karena pikiran “Bisa ngerjain ga ya ntar ?” melainkan “Cocok ga ya sama jawabannya ntar ?”. Dan dengan begitulah para pemuda Indonesia dibesarkan. Miris.
Seandainya saja Nazaruddin tidak mencontek pada saat UAS ketika masih SMP. Seandainya saja Melinda Dee tidak ngrepek ketika masih duduk di bangku SMP. Seandainya saja para petinggi negara ini, para pemimpin, para pemegang amanah, membiasakan untuk hidup jujur sejak kecil. Bukan hanya kejujuran semu pada pelajaran kewarganegaraan itu, tapi kejujuran yang sebenarnya, yang dipraktekkan langsung sejak mereka masih mengenyam bangku pendidikan..
Pasti korupsi tidak akan se-merajalela ini, se-mengakar ini. Pasti kejujuran bukanlah fatamorgana.
Tapi kenapa para pemuda ini belum juga menyadari masa depannya, masa depan negaranya. Tidak cukupkah generasi pemimpin saat ini saja yang seburuk ini ? Apakah generasi kami nanti masih harus mewarisinya? Akan jadi apa negara ini nantinya jika semua keburukan ini terus menancapkan akarnya ?
Saya tidak menyalahkan kawan-kawan seperjuangan saya ini. Kami hanyalah anak-anak muda yang dibesarkan oleh sebuah doktrin pendidikan yang benar-benar salah. Sejak dulu kami hanya dituntut untuk mendapatkan nilai yang baik dalam setiap pelajaran di sekolah. Orang tua kami pun turut menjadi korban. Sejak dulu setiap hasil ujian akhir dibagikan, yang mereka tanyakan pasti cuma satu, “Dapet nilai berapa nak ?”, tidak adakah orang tua yang bertanya “Apakah kamu mengerjakan ulangan ini dengan jerih payahmu sendiri nak ?”.
Nilai. Cuma kata itu yang dipedulikan oleh masyarakat negeri ini. Dampaknya selalu sama pada setiap generasi, menghalalkan segala cara demi mendapatkan nilai yang bagus. Memang tidak ada salahnya mematok standar bagi sebuah kelulusan, namun yang perlu dipertanyakan, apakah masyarakat negeri ini telah cukup dewasa untuk mengambil jalan demi mencapai standar tersebut. Yang ada malah masyarakat menjadi kaum materialistis. Kaum pencari nilai.
Alhamdulillah saya dan semua teman-teman seperjuangan saya di SMADA bisa lulus Ujian Nasional tahun ini. Sebagai anak muda yang juga masih labil, saya tidak terlalu ambil pusing apakah teman-teman saya lulus sebagai kaum nasionalis pembela kemerdekaan atas egonya, atau lulus sebagai kaum materialistis pembawa akar-akar keburukan generasi sebelumnya. Itu semua jalan yang telah mereka ambil. Jalan yang masih bisa berubah nantinya. Masih banyak persimpangan jalan yang akan kami hadapi di masa mendatang. Untuk saat ini, saya masih berada di persimpangan kedua jalan. Sebagian diri saya telah berusaha jujur dalam mengerjakan setiap ujian di sekolah selama dua tahun belakangan ini, termasuk Ujian Nasional yang saya bisa jamin seratus persen kerja keras saya sendiri. Tapi saya juga tidak akan munafik, masih ada sebagian diri saya yang tidak bisa berlaku jujur terhadap hati, masih banyak kebohongan yang saya lakukan kepada Tuhan.
Semoga Tuhan menganugerahkan kejujuran pada setiap dari kita. Karena negeri ini sedang krisis orang-orang yang jujur.

Chapter 2 : Power Ranger Yerbook & Ranger Buntu


Jika pada kelas 11 saya disibukkan mengurus mading hingga STARSHIP, ternyata di kelas 12 kinerja otak kanan saya masih harus diperas disamping otak kiri yang sedang sibuk-sibuknya memikirkan jalan keluar dari setiap soal integral yang rumit sampai menghafal rumus-rumus fisika yang telah diajarkan selama tiga tahun masa pembelajaran. Mengurus buku kenangan. Ya,,yearbook atau apapun namanya itu telah ikut menyeret serta saya dan kelima anak lain dalam tahap pengerjaannya.
Tapi ternyata diluar keenam ‘Power Ranger’ inti ini juga masih ada beberapa ‘Ranger’ lain yang ikut meramaikan setiap acara pengerjaan desain. Baik itu ketika mengerjakannya di sekolah ( biasanya di depan UKS, sambil main poker ), hingga ketika harus mengerjakannya di kamar fotografer kami yang tercinta (  huek,mbeeek ). Mereka yang lain ini disebut ‘Ranger Buntu’, berisikan sekumpulan pemuda kurang kerjaan yang selalu membuntu beramai-ramai. Sekali lagi, entah mengapa hal itu disebut “Buntu”, saya masih kurang paham darimana kosakata itu berasal.
Kembali ke urusan yearbook. Tim kami dibentuk oleh Wakasek tercinta untuk mengurus semua hal yang bertujuan untuk membentuk sebuah kitab kenangan yang nantinya akan disebarluaskan ke seluruh lulusan SMADA tahun 2011. Tim kami ini terdiri dari fotografer dan designer yang masing-masing mengemban tugas mengerjakan design beberapa kelas. Markas kami ada di Villa Kalijudan, lebih tepatnya di kamar fotografer kami yang seperti domba. Tapi beruntungnya kami, kamar fotografer kami ini tidak seperti kandang domba. Saya akan jujur disini, saya jantuh cinta terhadap markas kami ini. Karena layaknya WatchTower dalam komik DC, markas kami ini berisi teknologi terbaru secara lengkap. Mulai dari desktop biasa hingga iMac, juga dari Blackberry hingga iPad. Ditambah koneksi wifi yang dapat diakses hingga kamar mandi, membuat saya benar-benar betah di tempat ini. Oh ada satu lagi kelebihan, yaitu kebebasan akses terhadap minuman botol di dalam lemari es.
Setiap anggota tim kami adalah anak-anak terpilih yang diyakini memiliki bakat untuk mendesign buku kenangan. Setiap dari kami memiliki style yang berbeda-beda dalam mendesign. Design yang saya buat berbeda dari yang dibuat oleh teman saya yang lain. Tapi saya yakin kami saling menghargai. Saya pribadi mengagumi design teman-teman saya. Saya jadi merasa masih banyak yang harus saya pelajari dari penggunaan photoshop, corel, maupun ilustrator. Tapi kekaguman saya ternyata memang terbukti, dua diantara mereka berhasil lolos tes SNMPTN untuk pilihan jurusan Desin Produk Industri di Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Sebuah pencapaian yang sesuai dengan bakat mereka.
Dari setiap kerja keras akan membuahkan sebuah hasil yang sesuai. Setelah melalui tahap percetakan yang cukup lama, akhirnya buku kenangan kami dapat dinikmati. Memang masih banyak kekurangan di sana-sini, saya pun memiliki beberapa kritik terhadap karya kami ini. Tapi di luar semua itu, buku kami berhasil menjadi buku yang cukup layak dinikmati, terbukti ada beberapa teman yang mengaku tidak dapat berhenti membolak-balik buku kenangan miliknya. Mungkin tidak sepenuhnya karena design yang kami buat, tapi juga dari setiap memori yang terekam didalamnya.
Selain kepuasan batin itu, kami pun mendapat kepuasan materil yang sepadan dengan kerja keras kami. Paling tidak honor tersebut dapat kami gunakan untuk berbelanja baju baru untuk acara Prom Night hehe.

Chapter 1 : Sudah tidak ada ‘Perawan’ di SMADA


Memang benar kata orang Jawa, “Tresno jalaran soko kulino”, rasa sayang itu adalah akibat dari pertemuan yang intens. Yang saya bicarakan disini bukan hanya tentang perasaan sayang antar dua manusia, tapi yang lebih luas, mencakup sekitar empat puluh anak manusia yang terkungkung dalam suatu kelas di SMA Negeri 2 Surabaya. Yang menamakan diri mereka ‘Perawan’.
Mungkin awalnya memang kami belum saling mengenal, dikumpulkan dari kelas yang berbeda-beda. Tapi ternyata cukup enam bulan untuk menghilangkan semua rasa jaim antara kami, sisanya hanya enam bulan yang penuh keceriaan, kegilaan khas ‘Perawan’.
Saya tidak menyangkal bahwa tidak ada kelas yang benar-benar ‘unite’. Kami pun begitu. Di kelas kami ada banyak sekali kelompok-kelompok anak. Ada kelompok barisan depan yang rajin. Ada anak-anak di barisan tengah yang sukanya tidur, nge-game, pasang headset. Ada pula sekumpulan cewe-cewe yang sibuk dengan dunianya sendiri. Dan yang pasti ada kelompok belakang yang seperti kita semua tahu, tipikal anak muda, anak SMA. Kadang mereka ini seperti jaelangkung juga sih, tiba-tiba datang tiba-tiba pergi, entah perginya kemana hehe. Tapi dari semua kelompok ini, kami benar-benar dapat menyatu. Dari segala kelebihan dan kekurangan setiap individu yang ada.





Banyak hal yang menyatukan kami. Dari mulai hobby yang sama, berbagai acara sekolah yang menuntut kami untuk menyatu, hingga semua trip yang telah kami jalani bersama selama satu tahun kemarin. Semua itu membuat kami lebih mengenal satu sama lain, benar-benar mengenal, dari mulai kendaraan yang kami gunakan ( dan sembunyikan ), hingga tiap tetes liur yang mengalir setiap ( salah satu dari ) kami tidur di dalam kelas ketika pelajaran berlangsung.




Sekarang, sudah tidak ada lagi ‘Perawan’ di SMADA. Masing-masing dari kami telah melangkah dengan jalan kami masing-masing. Ada yang berjalan keluar dari kota ini, masih banyak juga yang tetap tinggal. Tapi kami semua telah terseret arus masa depan, masing-masing dengan arah yang berbeda-beda.

Chapter 0 : Greetings


Sudah lama sekali saya tidak menulis, terutama di blog ini, sudah setahun mungkin. Entah kenapa saya merasa lebih suka membaca tulisan orang lain daripada menulis sendiri. Mungkin karena saya merasa sedikit minder, merasa tidak dapat menulis sebaik orang-orang lain, salah satunya teman saya yang blognya sering saya kunjungi. Yah,,mau bagaimana lagi, dia memang calon penulis besar,  pernah pergi ke Australia karena tulisannya.
Sebenarnya terkadang banyak pemikiran yang ingin saya tuangkan dalam tulisan, tapi sekali lagi, entah mengapa rasanya malas sekali untuk menekan tuts keyboars qwerty di laptop saya ini. Saya lebih suka menuangkannya lewat jejaring sosial tempat berkicau itu. Yah,,mungkin ini semua dampak ‘generasi sms’ yang lebih suka mengutarakan sesuatu  dengan singkat hanya dengan 160 karakter. Saya kira saya pun termasuk di dalamnya.
Namun sekarang saya hanya ingin mencoba menulis, meskipun tulisan itu jelek atau bagus, saya tidak terlalu peduli. Masa bodoh lah. Mungkin benar kata-kata seorang teman yang mengomentari kicauan saya tentang ketidakpercayadirian mengenai tulisan saya sendiri, “Cuma kurang latihan”. Ya,,mungkin seperti itu yang terjadi.
Kali ini saya ingin mencoba merangkum berbagai hal yang telah melewati hidup saya ( atau lebih tepatnya saya lewati ) selama beberapa bulan ini. Kurang lebih setengah tahun yang benar-benar berarti besar dalam hidup saya. Tentang akhir sebuah masa indah hingga awal sebuah hidup baru yang belum saya ketahui akan menjadi separti apa nantinya.