Jumat, 19 Agustus 2011

Pendidikan Pancasila


Beberapa saat lalu saya sempat berdebat kusir dengan Dina mengenai Pancasila. Kurang lebih dia menuduh saya sedang mengalami krisis moral karena menganggap Pancasila hanya berkaitan dengan Orde Baru. Tapi apakah saya salah jika menganalogikan Pancasila dengan Orde Baru ? Atau apakah benar moral saya sedang sedikit demi sedikit tereduksi ?
Seperti kita tahu selama Pak Harto berkuasa, atau dikenal dengan jaman Orde Baru, setiap mahasiswa baru diwajibkan untuk mengikuti P4. Semacam Pendidikan Pancasila. Jika dilihat secara morfologis memang tidak ada yang salah dengan pendidikan semacam ini, malah dapat dikatakan sangat bagus. Karena Pancasila sendiri merupakan dasar falsafah negara dan sebagai pedoman bagi setiap rakyat Indonesia.
Tapi seperti kita tahu juga, sudah menjadi rahasia umum bahwa Pancasila dan segala jenis pendidikannya selama Orde Baru hanya digunakan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan Pak Harto dan kroni-kroninya. Pancasila kala itu dikerdilkan baik segi arti maupun pemahamannya hanya demi kepentingan beberapa pihak belaka.
Namun lebih dari itu, yang lebih membuat miris lagi. Orang-orang yang dibesarkan pada jaman Orde Baru, yang dididik dengan mental Pancasila, buktinya malah sama sekali tidak mencerminkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam pedoman negaranya tersebut. Coba kita tengok para wakil rakyat kita di Senayan itu, mereka adalah orang-orang yang dibesarkan dalam naungan Orde Baru, dengan berbagai Pendidikan Pancasila. Namun lihat cerminan perilaku mereka, mereka ikut menginjak-nginjak harga diri Pak Harto yang membesarkan mereka, tapi perilaku merekapun tidak jauh beda dari orang yang mereka injak-injak. Bahkan kalau boleh saya mengatakan, masih jauh lebih baik Pak Harto daripada para wakil rakyat itu.
Kembali ke diri kita masing-masing. Sudah sejak dalam naungan pendidikan dasar kita dapatkan pelajaran PPKn, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, namun apakah kita sudah berperilaku seperti yang dicita-citakan oleh para pendiri negara ini melalui Pancasila ? Jika kita mengaku sudah, lalu mengapa contekan masih merajalela ? Mengapa pakaian mini dianggap jamannya ? Mengapa tawuran dan bentrokan masih terjadi dimana-mana ? Dan mengapa bahkan untuk mengingat Tuhan pun kita masih sering lupa ?
Yang kita butuhkan, dalam hal ini saya lebih mengedepankan Generasi Kita, bukanlah sekedar ‘Pendidikan Pancasila’. Namun yang lebih utama bagaimana kita benar-benar memahami dan merefleksikan nilai-nilai dalam Pancasila tersebut kepada diri kita.

Sabtu, 13 Agustus 2011

Chapter 6 : End


Ketika menulis posting ini, saya masih berstatus sebagai ‘calon mahasiswa baru’. Karena penerimaan secara resmi oleh pihak kampus ITS belum kami dapatkan, masih pekan depan kami resmi diterima sebagai ‘mahasiswa baru’. Perjuangan untuk menjadi seorang ‘warga ITS’ pun masih cukup lama, masih harus menjalani masa orientasi selama satu tahun kedepan. Apalagi menjadi seorang ‘sarjana’, wah, masih harus belajar giat selama kurang lebih empat tahun untuk mendapatkan gelar itu. Belum lagi gelar ‘master’, ‘engineer’, ‘boss’, bahkan ‘suami’ ataupun ‘ayah’.
Hidup ini adalah sebuah tangga, kita mungkin telah berhasil melalui sebuah anak tangga, dengan mulus atau harus terpeleset lebih dulu. Namun masih ada anak tangga lagi yang harus kita lalui, tentunya dengan cara yang lebih baik dari sebelumnya. Dan akan terus berulang seperti itu untuk setiap pencapaian dalam hidup. Tetapi kita semua kadang tidak menyadari, yang kita akan temukan di anak tangga paling atas bukanlah gelar ‘raja agung’ tetapi hanya sebuah gelar ‘almarhum’.
Begitupula dalam hal menulis, bisa dikatakan saya baru berhasil menginjakkan kaki pada anak tangga pertama. Belum pula siap melangkah ke anak tangga berikutnya, masih banyak yang harus saya pelajari. Tapi saya berjanji untuk mulai mencintai dunia tulis-menulis, disamping cinta saya pada dunia baca-membaca.
Ending dari tulisan ini adalah awal keinginan saya untuk menggeluti dunia tulis. Tulisan selanjutnya bisa saja berupa puisi, karya ilmiah, curhatan, atau sekedar buah pikiran. Bisa dalam bahasa, Inggris, bahkan tidak menutup untuk Perancis ataupun Jerman.
Saya hanya ingin dan ingin bisa menulis.
Sekian.

Chapter 5 : Sebuah kebahagiaan


Terus terang, sebulan sebelum SNMPTN berlangsung saya benar-benar belum siap. Belum ada satupun soal tipe SNMPTN yang pernah saya kerjakan, kecuali soal Try Out di awal masa bimbel yang itupun saya kerjakan tanpa berpikir alias asal jawab. Sedangkan hampir tiga bulan sebelumnya saya habiskan untuk berlatih soal tipe UN, fokus UN dulu tanpa memikirkan SNMPTN. Jadi perjuangan SNMPTN saya benar-benar diawali dari nol.
Karena ketatnya tes SNMPTN, maka dibutuhkan beberapa strategi untuk belajar dan memilih jurusan yang diinginkan. Saya sendiri telah jauh-jauh hari memperbincangkannya dengan orang tua saya pilihan jurusan apa yang sebaiknya saya ambil. Pada awalnya saya ingin masuk ITB. Namun seiring banyaknya info yang beredar di internet, tentang bagaimana berat dan mahalnya kuliah di sana, saya akhirnya harus mengubur cita-cita itu. Memang seorang teman pernah berkata kepada saya “Saat ini memang aku ga punya uang, tapi ingat, Allah Maha Kaya”, tapi maaf teman, saya tidak se-pintar dan se-bernyali dirimu.
Akhirnya saya memutuskan untuk memilih arsiteltur ITS sebagai tujuan saya. Disamping ITS memang jauh lebih murah dibanding ITB, kapasitas otak saya pun masih memberikan dukungannya disini. Beruntunglah orang tua saya adalah tipe orang tua yang sangat demokratis, mereka memberi saya kebebasan untuk memilih jurusan apa yang saya inginkan tanpa memaksakan kehendak mereka.
Perjuangan pun di mulai, selama satu bulan lamanya saya, dan saya yakin sama halnya dengan semua teman saya yang lain, berkutat dengan bimbel, soal, rumus, dan semua yang berhubungan dengan tes SNMPTN. Saya sendiri memiliki kiat-kiat tertentu dalam mempersiapkan tes ini. Setiap pagi sampai siang saya sibuk dengan bimbel. Siang sampai sore hari saya gunakan untuk beristirahat. Sedangkan malam hari benar-benar saya gunakan untuk belajar. Ya memang sebelum itu saya dan Dina ( baca postingan awal untuk mengetahui sipa Dina yang saya maksud ) telah berjanji untuk tidak saling mengganggu waktu belajar satu sama lain. Kami menetapkan waktu belajar yaitu selepas shalat magrib sampai pukul sembilan malam.
Saya sebenarnya bukan orang yang benar-benar tahan dalam mengerjakan soal-soal. Saya tipe orang yang lebih suka membaca. Jadi dalam belajar pun, saya lebih suka membaca penyelesaian soal, tentunya sambil mencari tahu darimana jawaban soal tersebut berasal. Dalam mengerjakan soal, dua jam adalah waktu maksimal yang dapat saya lalui. Selepas itu saya sudah tidak dapat memfokuskan pikiran lagi. Sedangkan Dina bisa sampai lebih dari tiga jam. Jadi dapat dikatakan Dina lebih rajin daripada saya.
Satu-satunya hal yang mengganggu fokus tes SNMPTN saya adalah karena adanya SNMPTN Undangan. Ya,,SNMPTN Undangan telah memberikan ‘iming-iming’ yang membuat kami sedikit mengabaikan tes SNMPTN. Kami semua berharap dapat diterima melalui jalur SMPTN Undangan ini. Namun jadwal pengumuman hasil SNMPTN Undangan ini berada di tengah-tengah bulan perjuangan SNMPTN kami. Jadi mau-tidak mau, kami harus mempersiapkan tes SNMPTN sejak awal tanpa menaruh harapan penuh pada SNMPTN Undangan.
Malam itu. Satu jam sebelum Prom Night dimulai, saya dan para Ranger Buntu sedang menunggu hasil pengumuman SNMPTN Undangan dengan harap-harap cemas di markas kami, di kamar sang fotografer. Situs yang sempat bocor sore itu mendadak tertutup kembali. Satu-satunya jalan adalah menunggu sampai pukul tujuh malam, saat situs tempat hasil pengumuman benar-benar dibuka. Tapi masalahnya, Prom Night dimulai setengah jam sebelum waktu tersebut. “Yo opo iki ?” “Budal ae wes !”.
Sesampainya di tempat parkir Convention Hall, tempat acara dilangsungkan, jam menunjukkan pukul tujuh lewat beberapa menit. Ipad dan koneksi internet disiapkan dalam mobil. Situs dibuka. Satu persatu nomor kami dimasukkan. Dari enam orang yang ada di dalam mobil, lima yang mengikuti SNMPTN Undangan, dan cuma satu diantara kami yang dinyatakan lolos. Sang fotografer.
Hidup kembali berjalan. Waktu tes semakin dekat, dan waktu pendaftaran sudah hampir ditutup. Sekali lagi, entah kenapa pilihan saya semakin goyah. Saya bingung mau memilih jurusan apa. Kalaupun arsitektur baiknya dipilih sebagai pilihan pertama atau kedua, lalu pilihan lainnya apa. Karena keadaan yang makin galau, saya memutuskan untuk melakukan Shalat Istikhoroh. Memohon kepada Allah petunjuk, jalan yang dikehendakiNya untuk masa depan saya.
Shalat Istikhoroh terakhir saya lakukan selepas Shalat Jumat di masjid As-Salam SMADA. Setelah selesai, saya turun untuk mengambil sepatu dan bersiap pulang. Ketika sedang memasangkan sepatu pada kaki saya, terdengar teman saya salah satu Ranger Buntu tengah berbincang. “Aku milih Teknik Lingkungan sama Teknik Kelautan, Lingkungan pilihannya ibuku Kelautan pilihanku”. Tiba-tiba saya tertarik pada perbincangan itu. “Teknik Kelautan itu apa se ?” “Pokoknya sipilnya laut” “Kerjanya ?” “Bisa di pertambangan minyak lepas pantai”. Dan Allah pun menunjukkan jalanku. Jalan yang juga direstui oleh orang tuaku, bahkan kali ini mereka lebih antusias.
Satu bulan menganggur setelah tes SNMPTN akhirnya mendekati ujungnya. Hari itu sungguh benar-benar sangat menegangkan. Alhamdulillah dua hari sebelumnya telah ada pengumuman yang menyatakan saya lolos tes PENS-ITS, jadi paling tidak saya telah memiliki cadangan sekolah. Jarum jam perlahan mendekati angka tujuh. Masih ada setengah jam untuk Sholat Isya dan berdoa lebih keras di surau. Selepas itu, yang ada hanya kepasrahan menekan tuts keyboard memasukkan nomor ujian saya.
Lalu ibu saya yang baru selesai dari shalatnya menghampiri, “Gimana ?”. Dengan hati yang masih berdegup kencang, saya genggam tangan beliau, berkata dengan senyum menggantung cerah “Ma, aku anak ITS”. Subhanallah,,air mata sampai menetes dari mata beliau. Juga dari sela sujud syukur saya. Allah telah memberikan anugrah terindahNya malam itu, dalam tujuh belas tahun hidup saya. Doa saya dan semua orang-orang tercinta saya telah dijawab malam itu. Hanya ucapan syukur tak henti-henti yang dapat kami persembahkan.
Allah memberi anugrahnya bukan hanya pada saya malam itu, juga pada banyak sekali teman-teman saya, termasuk Dina. “We did it, yes we did it”, saya dan Dina telah sama-sama berhasil hari itu. Juga banyak teman lain. Melihat timeline jejaring sosial saya berjalan dengan banyak ucapan syukur, saya sendiri ikut terlarut dalam perasaan itu. Rasanya senang sekali, lebih dari sebuah kegembiraan, melihat teman-teman saya yang telah melebihkan usahanya selama beberapa bulan ini mendapatkan apa yang mereka inginkan. Suatu kegembiraan yang benar-benar bebas. Lepas. Alhamdulillah Ya Rabb. Alhamdulillah.
Pagi itu saya berangkat ke ITS dengan pakaian putih-hitam untuk mengikuti kegiatan pelatihan ESQ hari kedua. Kali ini sebagai calon mahasiswa baru ITS. Sebuah kebahagiaan baru mengembang dalam diri saya. Semalam, ibu memberi tahu satu hal kepada saya, “Papamu bangga banget kamu masuk ITS, seneng banget kelihatannya”. Dan sekali lagi syukur saya panjatkan. Hari ini, paling tidak saya telah membuat orang tua saya bangga. Meskipun masih banyak anak tangga yang harus saya lewati untuk menuju kesuksesan, paling tidak saat ini saya telah berhasil menduduki satu tangga sebagai awal langkah menuju anak tangga paling atas. Saya akan membuat orang tua saya bangga, bukan hanya sekali, tapi akan saya lakukan sebanyak apapun yang saya bisa. Dengan izin Allah saya akan melakukannya.

Chapter 4 : High School Really Ends


Tanggal 17 Mei 2011, bertepatan dengan hari raya nyepi dan hanya selang sehari sejak pengumuman kelulusan SMA se-Indonesia, kami semua murid kelas 12 SMADA akan melewati hari yang cukup panjang. Karena bukan hanya ada satu acara yang harus kami hadiri hari itu, tapi dua. Wisuda siswa angkatan 2011 dan juga Prom Night.
Pagi itu saya dan kedua orang tua saya bangun lebih awal, seperti layaknya Hari Raya Idul Fitri atau Idul Adha, pagi-pagi sekali ayah dan ibu saya telah bersiap-siap mengenakan pakaian yang nampak pantas untuk acara hari ini. Saya sendiri untuk pertama kalinya dalam hidup saya mengenakan sebuah ‘tuxedo’. Sebuah jas, kemeja lengakap dengan dasinya, juga celana kain yang kesemuanya itu saya dapat dari lemari penyimpanan pakaian masa lalu ayah saya.
Prosesi wisuda anak SMA terlihat sangat berbeda dengan yang biasa dikerjakan oleh para lulusan Perguruan Tinggi, hampir tidak ada ke-khidmatan yang terlihat. Kami semua sibuk dengan celotehan kami dengan teman-teman sekelas. Tidak peduli dengan apa yang disampaikan oleh para pembaca sambutan di atas panggung. Bukannya kami ini anak-anak bebal yang tidak bisa diberi tahu. Kami hanya merasa ingin menghabiskan saat-saat terakhir menyandang status ‘Pelajar SMA’ ini dengan orang-orang terdekat kami, teman-teman sekelas kami ini.
Begitu Kepala Sekolah kami menyematkan piagam berlogokan SMAN 2 Surabaya, kemudian menjabat satu-persatu tangan kami, kami telah dinyatakan lulus. Dengan semudah itu kami dikeluarkan dari SMADA tercinta. Ingatkah kita bagaimana susahnya masuk ke sekolah ini, bersaing dengan ribuan pendaftar dari seluruh Kota Surabaya dan sekitarnya. Bagi beberapa orang diantara kami, termasuk saya, masuk ke sekolah ini bukanlah pencapaian tertinggi dari apa yang kami inginkan. Tapi tak ingatkah kita bagaimana waktu telah mengubah semua rasa kekecewaan itu menjadi rasa sayang. Ingatkah kita bagaimana pagi itu, tiga tahun yang lalu, sekumpulan kakak kelas meneriakkan dengan lantangnya VIVA SMADA!! Semula memang terasa aneh jargon yang satu ini. Tapi tak ingatkah kita bagaimana waktu lagi-lagi mengubah semua rasa itu menjadi suatu kebanggaan ketika kita meneriakkannya. Ketika VIVA SMADA!! mengalun kencang di DBL Arena, maupun tempat-tempat lain yang kita kunjungi bersama. Ingatkah kita bertemu teman-teman baru, mempelajari dan melakukan hal-hal baru, menghiasi indah masa-masa muda kita. Tidak ada yang baik dan yang buruk di masa SMA. Kita belajar di kelas, tapi kita juga tidur di dalamnya. Kita mencari teman di sekolah, tapi kitapun mendapat musuh di sisi lainnya. Kita membangun cinta pada masa itu, tapi kita pula yang menghancurkanny. Kita belajar bersama, tapi kita juga bolos bersama. Kita bermain, belajar, bertengkar, baikan, bermain lagi, mempelajari hidup dari berbagai sisi, mencari tahu bersama siapa sebenarnya diri kita. Semua hitam dan putih itu bercampur, menjadi abu-abu. Menjadi warna kebanggan masa-masa kejayaan ini, Putih-Abuabu.
Malam itu kami kembali berkumpul, bukan sebagai siswa SMADA lagi, melainkan telah menjadi IKASMADA. Mungkin untuk yang terakhir kalinya berkumpul ber-300 seperti itu. Mengumpulkan sebanyak mungkin kenangan dengan teman-teman terdekat. Menciptakan sebanyak mungkin jepretan foto-foto yang nantinya akan menjadi satu-satunya kenangan kebersamaan masa SMA.
Sekali lagi, entah bagaimana waktu dapat menyeret kita secara sangat cepat. Melewati tiga tahun masa Putih-Abuabu dengan segala kenangan yang ditinggalkannya.
Mungkin suatu saat kita akan bertemu kembali, berkumpul kembali seperti saat itu. Tapi satu hal yang saya takutkan. Saya takut kalian yang nanti saya temui bukanlah kalian yang dulu saya kenal.
Dengan berat hati saya harus mengucapkannya. High school really ends,,ya,it’s over.

Chapter 3 : Ujian Kejujuran Nasional


Pagi itu matahari belum sampai sepenggalahan naiknya, adzan subuh belum lama meninggalkan sejumlah pelajar SMA yang saya yakin berlama-lama memanjatkan doa kepada penciptanya. Tapi ternyata tak hanya Tuhan yang setia terjaga semalaman itu, sejumlah orang di sebuah tempat antah-berantah di kota ini pun dengan setia menemani Tuhan membuka matanya. Sayangnya iman mereka malam itu sedang jauh terlelap. Yang ada hanya tubuh-tubuh kosong dengan otak yang terus bekerja menyelesaikan empat puluh-kali-lima  soal yang sudah ada di genggaman tangan mereka. Sekali lagi, entah kemana jiwa mereka pergi saat itu. Setelah hasil pekerjaan otak tanpa jiwa itu selesai, tinggal tekan tombol “send” pada telepon genggam mereka, dan whooala!! G-Team telah menyelesaikan tugasnya hari itu. Masih ada tiga hari menunggu. Juga bayaran besar atas ketidakjujuran.
Mungkin itu sedikit potret sisi lain kehidupan akhir SMA. Bukan hanya isapan jempol atau kabar burung belaka, tapi ini adalah fakta, yang saya yakini terjadi di hampir semua wilayah di Indonesia. Tidak perlu susah-susah menamatkan buku-buku soal tebal yang dilihat saja sudah memuakkan itu. Tidak perlu juga ikut bimbingan belajar di sana-sini, kalaupun ikut saya yakin hanya sebuah formalitas saja sebagai murid tingkat akhir Sekolah Menengah. Yang perlu dilakukan hanyalah bangun sedikit lebih pagi, menyiapkan satu-dua lembar catatan kaki ( tentunya harus yang dapat dengan mudah disimpan ). Lalu tinggal melangkah dengan rasa was-was ke Sekolah. Was-was bukan karena pikiran “Bisa ngerjain ga ya ntar ?” melainkan “Cocok ga ya sama jawabannya ntar ?”. Dan dengan begitulah para pemuda Indonesia dibesarkan. Miris.
Seandainya saja Nazaruddin tidak mencontek pada saat UAS ketika masih SMP. Seandainya saja Melinda Dee tidak ngrepek ketika masih duduk di bangku SMP. Seandainya saja para petinggi negara ini, para pemimpin, para pemegang amanah, membiasakan untuk hidup jujur sejak kecil. Bukan hanya kejujuran semu pada pelajaran kewarganegaraan itu, tapi kejujuran yang sebenarnya, yang dipraktekkan langsung sejak mereka masih mengenyam bangku pendidikan..
Pasti korupsi tidak akan se-merajalela ini, se-mengakar ini. Pasti kejujuran bukanlah fatamorgana.
Tapi kenapa para pemuda ini belum juga menyadari masa depannya, masa depan negaranya. Tidak cukupkah generasi pemimpin saat ini saja yang seburuk ini ? Apakah generasi kami nanti masih harus mewarisinya? Akan jadi apa negara ini nantinya jika semua keburukan ini terus menancapkan akarnya ?
Saya tidak menyalahkan kawan-kawan seperjuangan saya ini. Kami hanyalah anak-anak muda yang dibesarkan oleh sebuah doktrin pendidikan yang benar-benar salah. Sejak dulu kami hanya dituntut untuk mendapatkan nilai yang baik dalam setiap pelajaran di sekolah. Orang tua kami pun turut menjadi korban. Sejak dulu setiap hasil ujian akhir dibagikan, yang mereka tanyakan pasti cuma satu, “Dapet nilai berapa nak ?”, tidak adakah orang tua yang bertanya “Apakah kamu mengerjakan ulangan ini dengan jerih payahmu sendiri nak ?”.
Nilai. Cuma kata itu yang dipedulikan oleh masyarakat negeri ini. Dampaknya selalu sama pada setiap generasi, menghalalkan segala cara demi mendapatkan nilai yang bagus. Memang tidak ada salahnya mematok standar bagi sebuah kelulusan, namun yang perlu dipertanyakan, apakah masyarakat negeri ini telah cukup dewasa untuk mengambil jalan demi mencapai standar tersebut. Yang ada malah masyarakat menjadi kaum materialistis. Kaum pencari nilai.
Alhamdulillah saya dan semua teman-teman seperjuangan saya di SMADA bisa lulus Ujian Nasional tahun ini. Sebagai anak muda yang juga masih labil, saya tidak terlalu ambil pusing apakah teman-teman saya lulus sebagai kaum nasionalis pembela kemerdekaan atas egonya, atau lulus sebagai kaum materialistis pembawa akar-akar keburukan generasi sebelumnya. Itu semua jalan yang telah mereka ambil. Jalan yang masih bisa berubah nantinya. Masih banyak persimpangan jalan yang akan kami hadapi di masa mendatang. Untuk saat ini, saya masih berada di persimpangan kedua jalan. Sebagian diri saya telah berusaha jujur dalam mengerjakan setiap ujian di sekolah selama dua tahun belakangan ini, termasuk Ujian Nasional yang saya bisa jamin seratus persen kerja keras saya sendiri. Tapi saya juga tidak akan munafik, masih ada sebagian diri saya yang tidak bisa berlaku jujur terhadap hati, masih banyak kebohongan yang saya lakukan kepada Tuhan.
Semoga Tuhan menganugerahkan kejujuran pada setiap dari kita. Karena negeri ini sedang krisis orang-orang yang jujur.